By SDSN MAMPANG PRAPATAN on 12.58

Prospek pendidikan di era kabinet baru

Ingar-bingar audisi calon menteri di Cikeas telah usai. Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II terbentuk. Yang ditunggu-tunggu oleh publik selanjutnya adalah apakah menteri-menteri itu kompeten dan dapat bekerja dengan baik di bidang yang diembannya.

Salah satu bidang yang menarik untuk dicermati dan didiskusikan adalah pendidikan. Sebab, bidang pendidikan bukan hanya berkaitan dengan masalah hajat hidup orang banyak, tetapi juga tempat di mana nasib anak-anak bangsa dipertaruhkan.
Seorang Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) dikatakan berkompeten apabila mampu memetakan permasalahan dunia pendidikan secara cepat dan akurat, sekaligus jeli mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalan tersebut. Jalan keluar atau solusinya itu dirumuskan dalam bentuk rancangan program-program aktual dan berorientasi pada praksis. Rancangan program itu membumi dan luwes sehingga mudah diterjemahkan ke dalam rencana aksi.
Untuk melihat prospek pendidikan di era kabinet baru, pertama-tama harus memahami permasalahan aktual yang mendera dunia pendidikan Indonesia saat ini. Penjajagan atas tantangan yang mungkin timbul di masa depan, juga harus dilakukan untuk menambah nilai akurasi dari suatu proyeksi.
Permasalahan dan tantangan dunia pendidikan ke depan akan bertambah berat dan jauh lebih rumit. Tantangan eksternal hadir dalam bentuk globalisasi (kapitalisasi atau liberalisasi) pendidikan. Sekolah dan universitas berlabel “internasional” semakin menjamur dan merata, hingga ke kota kecil. Dalam situasi demikian, perlu pemaknaan dan penataan ulang atas pendidikan nasional.
Tantangan terberat usaha peningkatan kualitas pendidikan justru datang dari dalam. Yaitu mendarahdagingnya budaya birokrasi yang menyelimuti tubuh pendidikan. Secara kasatmata, praktik birokratisasi pendidikan dapat ditemui setiap saat. Bagaimana seorang guru tunduk dan berusaha unjuk kerja di depan kepala sekolah. Seorang kepala sekolah takut kehilangan jabatannya, sehingga harus merawat hubungan baik dan selalu bermuka manis dengan atasannya.
Sikap dan perilaku birokratis itu terus berlanjut sampai ke tingkat di atasnya. Hingga tingkat menteri, lalu menteri kepada presiden. Fenomena birokratisasi pendidikan benar-benar mendekati sempurna. Oleh karena itu, tidak aneh apabila setiap prakarsa inovasi pendidikan selalu kandas di tengah jalan.

Makna perubahan
“Ganti menteri, ganti kurikulum”. Itulah ungkapan yang pas untuk menggambarkan seluruh gerak dan dinamika pendidikan di Indonesia selama ini. Secara normatif, kerangka pengembangan pendidikan nasional berpijak pada tiga pilar utama. Ketiga pilar tersebut adalah pemerataan akses pendidikan, peningkatan mutu pendidikan dan relevansi pendidikan dengan dunia usaha/perubahan masyarakat.
Namun demikian, ketika menerjemahkan kerangka dasar itu di lapangan, setiap Mendinas memiliki tafsir berlainan. Maka lahirlah program baru yang sering terputus dengan program menteri sebelumnya.
Sedikit menengok kebijakan terdahulu. Minimal ada lima bola panas yang terus menggelinding kencang: pemunculan sekolah khusus (RSBI, akselerasi, imersi, dan lain-lain), sertifikasi pendidik, pengarusutamaan sekolah kejuruan, penataan LPTK dan perubahan kurikulum (disebut KTSP). Di atas kertas, semua kebijakan tersebut bagus dan tanpa cela. Tetapi, sekali lagi, ketika direalisasikan di lapangan, ternyata jauh panggang dari api. Bukannya menyelesaikan ataupun mengurangi masalah, tetapi justru semakin memperuncing permasalahan.
Contoh menarik pada realisasi sertifikasi guru. Asumsinya, peningkatan mutu pembelajaran selalu gagal karena guru bergaji rendah dan miskin. Karena itu, gaji guru perlu ditingkatkan melalui sertifikasi. Setelah menerima tunjangan sertifikasi, ternyata guru tidak menggunakannya untuk membeli buku atau mengikuti pelatihan.
Makna perubahan pendidikan sejati bukan dinilai dari banyaknya program yang ditelurkan, ataupun jumlah proposal yang diajukan. Tetapi lebih pada bagaimana implementasi program itu di lapangan, sehingga secara konkret mampu meningkatkan kualitas pendidikan secara nyata (Fullan,1992).
Berlandaskan pada pengertian tersebut maka sekadar memajang program baru dan pengajuan proposal belum bisa dikatakan sebagai kegiatan inovasi ataupun perubahan pendidikan. Ia baru sah disebut sebuah inovasi manakala telah terejawantahkan secara nyata di lapangan.
Penyebab utama kegagalan inovasi pendidikan karena perbedaan visi pendidikan mulai menteri hingga para pendidik. Oleh karena itu, prakarsa inovasi pendidikan sering kali hanya menjadi bumbu-bumbu pemanis menteri baru, tetapi tidak pernah terimplementasikan secara nyata di lapangan.
Ada tiga kendala utama yang menghambat usaha perubahan pendidikan di bumi Indonesia. Ketiga kendala itu adalah birokratisasi pendidikan yang kaku dan formalistik, budaya sekolah (universitas) yang telah membeku dan kehadiran pendidik yang sudah kehilangan harapan. Dalam keadaan demikian, usaha inovasi sebagus apapun tidak akan pernah berhasil mencapai sasaran. Pasti akan muncul penolakan, bahkan perlawanan yang gigih dari birokrasi, sekolah dan pendidik.
Untuk keluar dari “lingkaran setan” permasalahan tersebut, yang mendesak dilakukan adalah berusaha memahami budaya dan kepentingan birokrat dan pelaku pendidikan. Duduk bersama mereka merumuskan visi pendidikan nasional sebagai tali pengikat seluruh gerak pendidikan. Visi adalah nilai-nilai kehidupan yang menjadi kiblat bagi birokrat, pejabat dan pelaku pendidikan sehingga melangkah ke arah yang sama.
Akan tetapi usaha membangun visi bersama bukan pekerjaan ringan. Sebab harus mencairkan ketegangan di antara pejabat, birokrat dan pelaku pendidikan yang masing-masing memiliki kepentingan berbeda. Diperlukan kerja keras dan cerdas, kesabaran, keuletan dan sikap toleran terhadap perbedaan pandangan. Apabila nakhoda pendidikan mampu menyulam ragam kepentingan itu menjadi satu visi bersama maka wajah pendidikan nasional akan sedikit berubah.
Jalur ke arah itu adalah medan berat dan berliku, sehingga sangat kecil sang nakhoda memilih jalan ini. Lebih enak memilih jalan umum yang biasa dilewati: perubahan kurikulum dan beberapa improvisasi kecil-kecilan. Pada akhirnya, wajah pendidikan kita tak kunjung berubah. Prospek pendidikan era kabinet baru akan tetap suram. - Oleh : Mohamad Ali MPd Kepala SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat, Solo

Comments

0 Response to ' '

Posting Komentar



ShoutMix chat widget
daenkblog.blogspot.com